Search This Blog

Monday, September 13, 2010

THE ADVENTURER ~ PART 2b

2.a. The Sign 

“Bagus, akhirnya selesai juga,” desahku sambil meluruskan letak meja yang baru saja kukembalikan dari posisinya yang miring. 

Aku menepuk-nepukkan kedua tanganku untuk menghilangkan debu yang mungkin menempel. Lalu kulihat sekeliling. 

“Hem… sudah sedikit mirip seperti sebelumnya nih, meski…” Aku bergumam pelan. 

“Ambil kursi dan meja baru dari gudang di belakang!” Terdengar suara Verxiuz yang baru saja menuruni tangga. 

“Siap!” sahutku sambil nyengir. “Kuncinya?” lanjutku. 

Yang kurang itu jelas saja meja dan kursi yang hancur, sehingga ruangan itu jadi terlihat lebih lapang. Verxiuz yang selalu punya persiapan, rupanya punya juga simpanan meja dan kursi di gudang belakang. Tapi gudang itu selalu terkunci rapat, dan hanya Verxiuz yang punya kuncinya. 

Verxiuz merogoh sakunya, lalu melempar serentengan kunci padaku. 

“Cepat! Sebentar lagi waktunya sarapan!” ujarnya. Lalu seakan tak peduli padaku dia menuju dapur untuk mengecek persediaan, suatu hal yang selalu dilakukannya tiap pagi. 

Tanpa berkomentar panjang lebar dengan setengah berlari aku keluar dari tempat itu, menuju gudang yang merupakan bangunan berukuran lebih kecil di belakang bangunan utama. Karena Verxiuz tak berminat membuat pintu belakang, jadinya untuk ke gudang harus memutar dari depan. Lagipula gudang itu tempat untuk menyimpan benda-benda berat, untuk persediaan bahan makanan Verxiuz membuat tempat tersendiri di dapur. 

“Lho?? Kok?” Aku bergumam heran ketika melihat pintu itu agak terbuka sedikit. Rantainya sudah tergeletak di bawah, dan ketika kucek gemboknya terlihat sedikit goresan tanda bekas diutak-atik. 

“Ada apa, Refer?” Suara lembut Sennia terdengar dari belakangku. 

Aku menoleh ke arah Sennia yang tengah melangkah mendekatiku. Seperti biasa, tiap pagi dia akan melakukan perawatan kebun sayur yang ada tak jauh dari gudang. Dan alat-alat untuk melakukan hal itu ada di gudang. Karena itulah dia memiliki tujuan yang sama denganku, gudang. 

“Sssttt…,” bisikku. “Kau diam di sini saja.” 

Krieeek… 

Suara pintu kayu yang terbuka terdengar saat aku mendorong pintu. 

Kuraih pedang pendek yang ada di sisi kanan pinggangku, lalu melangkah masuk ke dalam gudang itu perlahan. Siapapun yang ada di dalam, pasti menyadari kehadiranku. Dan itu berarti aku harus ekstra hati-hati. 

Gudang itu remang-remang tersinari oleh cahaya matahari pagi dari jendela di bagian atasnya. 

Aku meneruskan langkah, menjelajahi gudang seraya mencari-cari penyusup yang berani membongkar gembok gudang ini. Kewaspadaan adalah hal utama yang diajarkan oleh ayah padaku. 

Saat aku tengah mencari-cari dengan mempertajam penglihatanku… 

Srak!!! 

Ada orang yang melompat secepat kilat dari balik lemari kuno yang agak rusak di sudut, menabrakku sebelum aku sempat menyadarinya. Aku terjatuh terlentang, sementara orang itu dengan cepat berlari ke arah pintu gudang. 

“Sennia!!!” teriakku, segera bangkit dan berlari secepat yang kubisa mengikuti orang itu. Aku khawatir orang itu akan melakukan sesuatu pada Sennia yang sedang menunggu di luar. 

“Lepaskan aku!!” teriak seseorang ketika aku sudah sampai di luar. 

Seorang anak lelaki tampak meronta-ronta, berusaha melepaskan kedua tangannya yang dicengkeram oleh Verxiuz. Sennia tampak berdiri di samping Verxiuz, wajahnya terlihat agak panik. 

“Ayah, jangan terlalu kencang memegangnya. Dia masih anak-anak…,” ujar Sennia, suaranya terdengar cemas. 

“Bocah pencuri nggak perlu dikasihani, Sennia,” sahut Verxiuz. Lalu dia menatapku yang terdiam berdiri di depan pintu gudang. “Dan kau… dasar nggak becus! Menangkap bocah seperti ini saja nggak bisa!” lanjutnya agak mengomel. 

Aku hanya nyengir saja, sudah terbiasa akan komentar pedas Verxiuz. Kusarungkan kembali pedang pendekku. 

“Aku bukan bocah! Aku sudah sepuluh tahun!” teriak anak itu. Masih meronta, menarik tangannya sekuat tenaga. Tapi tenaga anak seumuran dia pasti kalah dengan tenaga Verxiuz yang tangguh itu. 

“Itu masih bocah tahu! Kenapa kau membongkar kunci gudangku! Apa yang telah kauambil!” ujar Verxiuz kembali mengalihkan perhatian ke anak itu. 

“Aku nggak mencuri apapun! Lepaskan aku!!!” 

“Aku akan melepaskan tanganmu jika kau berjanji nggak akan lari!” 

Anak lelaki itu terdiam mendengar suara tegas Verxiuz. Lalu dia mengangguk. 

Verxiuz melepaskan tangan anak itu, yang kemudian mengelus-elus bekas genggaman Verxiuz. 

“Siapa kau dan apa maksudmu menyusup ke gudangku?” tanya Verxiuz. 

“Maafkan aku, aku nggak bermaksud mencuri apapun. Aku… hanya butuh tempat untuk tidur…” sahut anak itu seraya melepas topi kain yang menutupi rambutnya. Rambut pendek berwarna merah terangnya terlihat begitu berantakan dan kusam. 

“Tempat untuk tidur? Hah, biasanya pencuri selalu beralasan seperti itu!” sela Verxiuz. 

“Ayah! Dengarkan dulu penjelasan dia!” Sennia menegur dengan suara tegas. 

Verxiuz terdiam mendengar suara Sennia yang tegas itu. Walaupun Verxiuz selalu bersikap garang dan tegas, tapi kalau dia mendengar suara tegas Sennia yang sangat jarang dia keluarkan, mau nggak mau Verxiuz juga serasa tersihir untuk mengikuti kemauan Sennia. 

“Aku… sungguh-sungguh minta maaf…” Anak lelaki itu menunduk seraya menggaruk kepalanya sebentar. Seolah-olah dia bingung harus berkata apa. “Tapi semalam aku sampai di tempat ini, dan mencari-cari tempat untuk istirahat dan menghindar dari udara dingin. Semalam udaranya begitu dingin jadi aku nggak kuat tidur di rerumputan seperti yang biasa kulakukan. Akhirnya aku mencari tempat singgah, dan melihat gudang itu. Aku nggak terlalu bisa meraih jendela untuk masuk dari sana, terlalu tinggi. Jadi aku membongkar gemboknya… maafkan aku…” 

Aku diam mendengarkan seraya mengamati anak ini. Usianya memang terpaut hampir separuh usianya dariku bahkan tingginya pun belum menyamai bahuku, tapi rasanya ada suatu darinya yang menarik perhatianku. 

“Memangnya kau mau pergi ke mana, bocah?” Akhirnya aku buka suara. 

“Nggak kemana-mana…” 

Aku langsung saling berpandangan dengan Verxiuz, heran. 

“Nggak kemana-mana?” Kali ini Sennia yang bersuara. “Orang tuamu tinggal di mana?” 

“Aku yatim piatu…” 

Dueng! 

Serasa kayu yang menjadi penyangga atap teras gudang jatuh menimpaku… 

* * * * 

“… ugh… kepalaku…” 

Aku langsung memegangnya begitu tersadar dan merasakan denyutan kesakitan dari kepala yang jarang kubuat untuk berpikir keras ini. 

“Kayu penyangga atap bagian itu memang sudah agak rapuh dimakan rayap. Untunglah kayu penyangga yang lainnya masih sanggup menahan atap gudang, jadi gudangnya nggak runtuh…” Suara Verxiuz terdengar. “Akan kuperbaiki nanti setelah mengurusi orang-orang yang datang makan untuk sarapan. Sekarang sudah tak ada waktu…” lanjutnya. 

Ugh, aku ingat. Saat mendengar si bocah penyusup itu yatim piatu, tiba-tiba saja kayu penyangga atap gudang ada yang ambruk dan mengenaiku. 

Aku memposisikan diri duduk. Rupanya mereka sudah mengeserku agak ke tepian kebun, di rerumputan yang lebih tebal dari sekitarnya. Sennia jongkok di sampingku dengan pandangan kuatir, Verxiuz berdiri di hadapanku dengan si bocah di sampingnya. Bocah itu terlihat sedikit geli melihatku. 

Sial, pertanda yang menyusahkan. Kusangka waktu aku mendengar alunan syair yang dinyanyikan padaku itu hanyalah kiasan, tapi ternyata memang diartikan secara makna sebenarnya! 

Brengsek… umpatku lagi, dalam hati tentunya. Sebisa mungkin, aku tak ingin mengumpat di depan wanita. 

”Hei, bocah!” ujarku seraya berdiri. ”Siapa namamu?” 

”Aku... tak punya nama.” 

”Apa?” 

”Orang-orang memanggilku Tara, tapi itu bukan namaku.” Si bocah menjawab dengan penuh keyakinan dan percaya diri. 

Tara berasal dari bahasa peri cahaya, yang berarti anak yatim-piatu. 

”Bagaimana kau bisa tahu itu bukan namamu sementara orang-orang memanggilmu demikian?” Seakan terpola, aku melanjutkan pertanyaanku. 

”Karena aku sedang mencari orang yang mengetahui namaku dan akan memberikannya padaku.” 

Verxiuz dan Sennia hanya diam termangu mendengar percakapan kami yang terkesan janggal dan seolah-olah ada naskah yang meminta kami berperan dengan dialog tersebut. 

Aku langsung memeluknya. ”Akhirnya yang kunantikan datang juga. Kau tak perlu kemana-mana lagi, Tara. Kau sudah menemukan orang yang akan memberikan namamu, dan inilah tempat tinggalmu sekarang.” 

Verxiuz dan Sennia saling berpandangan. 

Aku tersadar telah melakukan suatu hal tanpa minta persetujuan dari pemilik tempat itu. Jadi aku membalikkan badan dan menatap Verxiuz dengan sinar permohonan. 

”Maafkan aku telah lancang, tapi... bolehkah dia tinggal di sini? Bisakah kau anggap dia seperti anakmu sendiri?” Aku mempertegas sinar mataku dengan ucapan... dengan nada yang lebih sopan dari biasanya. 

Verxiuz mendengus. ”Huh, tumben kalimatmu sopan begitu. Selalu saja seenaknya, kalau ada maunya...” 

”Ayah!” Sennia menyela perkataan ayahnya seraya melihat sang ayah dengan tatapan jangan bertele-tele. Dia tahu ayahnya nggak mempermasalahkan hal tersebut dan oke-oke saja menerima si bocah tinggal di tempat mereka. Lagipula, Sennia senang dia bisa punya adik! 

”Baiklah, baiklah!” Verxiuz menatap si bocah. ”Kau Frein, itulah namamu sekarang. Aku punya cita-cita menamai anakku seperti itu jika dia laki-laki, tapi ternyata anakku satu-satunya perempuan. Dan karena kau akan tinggal di tempatku, berarti kau itu putraku!” 

Bocah itu tersenyum senang mendengar namanya. ”Terima kasih. Itu nama yang bagus. Terima kasih, telah memberiku nama.” 

Sennia tersenyum senang dan memeluk Frein. ”Selamat datang kembali ke rumah, Frein,” ujarnya. 

”Oke! Acara haru-birunya sudah cukup! Sekarang Sennia, bantu aku di dapur! Dan Frein, aku yakin kau bisa mengurusi kebun itu!” Verxiuz langsung kembali ke gaya aslinya. ”Ayo cepat! Sudah banyak waktu terbuang untuk ini!” Verxiuz mengalihkan perhatiannya padaku. ”Dan kau, bocah nggak berguna, cepat urus meja dan kursinya!” 

Usai mengucapkan itu, Verxiuz kembali ke dalam rumah dengan Sennia yang mengikuti di belakangnya. Sementara Frein masuk ke gudang, mengambil peralatan untuk mengurus tanaman yang sempat dia lihat ketika menyelidiki isi gudang semalam. 

Aku yang tertinggal hanya nyengir senang. 

Wah, wah... pertanda itu akhirnya muncul juga! Berarti sebentar lagi aku akan melanjutkan perjalanan, ke tempat yang harus kutuju berikutnya... 

* * * *